IBUKU BUKAN PELACUR
By elha – 11.01.2010
“Kasih Ibu, kepada beta…huk..huk..tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali…huk..huk…bagai sang surya menyinari dunia….” Air mata Surya mengalir deras membasahi pipinya…..tangan kanannya memeluk erat sang Bunda….sementara tangan kirinya menopang beban dirinya, serta ibunya yang tertidur pulas….
(ilustrasi : search on google)
---oooOooo---
Bersama Ibunda
Di malam tahun baru 2007 acara tersebut. Mereka
mengevaluasi diri dengan jernih dan tulus. Betapa banyak kesalahan, kekhilafan
dan kekeliruan selama tahun 2006 dan tahun-tahun sebelumnya. Kesalahan,
kekhilafan dan kekeliruan dalam bekerja, bertetangga, berkeluarga dan
beribadah.
Hysteria massa
bergema ketika pemimpin acara menyebutkan perilaku doa manusia kepada Allah,
berbuat maksiat, pelacuran, berdusta, durhaka terhadap orang tua, menelantarkan
orang tua, dll. Air mata mengalir membasahi pipi….bahkan sebagian diantara
mereka ada yang tak sanggup menahan tangis dan jatuh pingsan.
Setelah acara selesai, Surya menghampiri ibunya,
mencium tangannya dan bersimpuh. Air mata Surya terurai. Dengan lembut dan
penuh kasih sayang Bu Indah menarik Surya dalam pelukan hangatnya. Lalu membaringkan tubuh Surya dalam
pangkuannya….Sambil membelai rambut anaknya, Bu Indah berkata,
“Nak, nanti kalau sudah di Jakarta, belajar yang rajin ya. Biar jadi anak yang pinter, ….bisa jadi
‘orang’. Jangan kayak Ibu, cuman dagang kue buat ngidupin kamu, sekolah kamu,
adik kamu-Yana…”
“Iyya
Bu….tapi Surya lebih seneng di sini aja Bu. Bisa bantuin Ibu dagang kue…” jawab
Surya
(sumber : goole - http://www.sman1-trk.com/berita/doa-bersama.JPG)
“…..Surya,…..kamu
teh dapet beasiswa dari sekolah. Kapan
lagi kamu bisa kuliah.....kamu tahu berapa berapa hadil dagangan kita….” Tambah
Ibunya dengan logat sundanya yang kental
“…Tapi
Bu…..”
“…sudahlah
Anakku,..kamu gak usah mikirin Ibu. Ibu masih bisa kok dagang sendirian. Lagian
kalau kamu ambil beasiswa itu, beban Ibu jadi lebih enteng. Ibu tinggal mikirin
sekolahnya Yana….”
“…Bu,….
Surya….”
“…Surya,
Ibu seneng kamu perhatian sama Ibu. Berbakti sama Ibu….tapi Ibu lebih bangga
kalau kamu jadi sarjana. Bisa ngangkat keluarga. Bisa bantu adik kamu….”
Sambung Bu Indah, seolah tidak memberikan kesempatan Surya untuk bicara.
Surya
terdiam. Termenung. Hatinya galau memikirkan keluarganya, Ibu dan adiknya. Dia memejamkan mata, menahan air mata yang
kembali akan keluar.
Terbayang
nostalgia bersama adiknya Yana yang masih duduk dibangku SMP. Mereka membawa
kue menuju desa tetangga. Menyebrangi sungai melalui titian jembatan bambu
kecil. Berpegangan tangan saling membantu dan bekerja sama.
Satu
ketika, Yana terperosok ke dalam lubang jembatan, persis di tengah sungai yang
mengalir deras akibat hujan lebat malam harinya. Yana berteriak keras meminta
bantuan Surya. Wajahnya dikerutkan menahan sakit di kakinya yang terhimpit di
selah-selah bambu. Surya segera menolong adiknya. Tak dihiraukan sebagian kue
buatan Ibunya yang terbuang ke sungai. Hanya satu yang terbetik dalam hatinya,
adiknya harus selamat, keluar dari himpitan bambu jembatan. Surya mengerti
kerugian besar yang diderita Ibunya, karena banyak kue yang terbuang kedalam
sungai, tapi ia juga yakin jika Ibunya akan mengerti kondisi mereka.
Surya
masih ingat teriakan Yana saat itu, “A’aaaaaaaaaaaa…..Aaaaaaaa…tolong Aaaa….”
Surya
juga ingat seraut wajah yang meringis menahan tangis ketika patahan bamboo
menghimpit pangkal pahanya, dan sebagian kakinya sudah masuk dalam aliran
sungai yang mengalir deras.
Air mata
Surya berhasil menembus kelopak matanya. Bulirannya mengalir menghiasi wajahnya
yang masih termenung.
“…Surya….Sur…..”
suara itu menyadarkannya dari lamunan
“….Surya,…kamu
tidak mendengarkan omongan Ibu ya….?”
“….eh..ah...ng,
denger kok Bu,….Ibu minta Surya tetep ke Jakarta kan ngambil beasiswa itu….”
“..Ach,
kamu…dari tadi Ibu ngomongin hubungan kamu sama Santi, anak Pak Haji Amir….”
“….hah…”
Surya tersentak
Pikirannya
melayang ke wajah Santi yang manies. Putih, rambut ikal terurai sedikit dibawah
bahu dan berlesung pipit kecil di pipi kirinya. Surya tersenyum.
“….Hayyo,
kamu ngelamun apa lagi Surya….”
---oooOooo---
Innovasi Ketua BEM Baroe
Jakarta, medio 2009
Seorang
mahasiswi memperhatikan dengan seksama sambutan pembukaan ’Orientasi Mahasiswa Baru’
(OMB) yang disampaikan oleh Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Tak ada
satupun yang terlewatkan. Setiap kata, kalimat bahkan batuknya sang pembicara
terekam dalam memorinya....
Bila
Ketua BEM itu tersenyum, ia ikut senyum. Jika si pembicara bertanya retoris, ia
dengan reflaks menjawabnya, meski dengan suara datar dan perlahan.
Kemudian
membahana suara tepuk tangan mengiringi akhir dari sambutan sang Ketua Senat.
Sesekali terdengar suara siulan dari kursi bagian belakang.
Ssuiiiitt...suiiiiiiittttt
”kamu
memang bintang. Wajar bila siuan selalu muncul ketika kamu berbicara..” gumam
mahasiswi tadi, lalu ia menghela nafas panjang.
”..akankah
aku bisa menjadi milikmu..?”
Tak lama
kemudian, palu diketok tiga kali oleh Rektor, yang diikuti oleh gemuruh tepuk
tangan tanda diresmikannya pelaksanaan (pembukaan) Orientasi Mahasiswa Baru,
dengan metode intelektual. OMB Gaya Baru saat itu, dimana kontak phisik antara
’Senior’ dan ’Junior’ ditiadakan, dan digantikan dengan metode lain yang lebih
mendidik, mendekatkan mahasiswa baru dengan dunia kampus serta penghargaan
terhadap mahasiswa ’senior’ dengan cara yang lebih elegan, akademis dan tetap
mempertaikan rambu-rambu pendidikan dan etika.
”Hidup
Ketua BEM baru....” teriak seroang Mahasiswi
“...Sssuuuiiiit..suuuiiiiit...”
Ungkapan Seorang Mahasiswi
Tepat
jam 8 malam, ba’da Isya, Surya keluar dari kamar kostnya. Rasa lapar membuatnya
tergerak menuju rumah makan Bu Min, yang biasa menjadi tempat mangkal
mahasiswa.
”Mah,...soto
ayam,...gak pake kol ya..”
”Yupz..”
jawab Bu Min, yang biasa dipanggil ’Mamah’, dengan gayanya yang ’gaul’
”..Loch
tumben sendirian....mane yang laen, Sur?” tanya Bu Min, dengan logat betawinya
yang kental
”......”
”Sur,..
Riana ada di pojok tuh. Dah dari tadi nungguin loe” kata Bu Min setengah berbisik,
dengan mulutnya yang diarahkan ke sudut kiri warung makan itu
Surya
menoleh ke arah yang dibisikan Bu Min. Dia melihat seraut wajah maniez tengah
termenung. Tatapannya kosong. Sebuah piring berisi beberapa potong ‘gorengan’
tergeletak tak berdaya dibiarkan begitu saja. Hanya sesekali tangannya terlihat
mengaduk teh manis hangat yang ada didepannya.
Surya
segera menghampiri gadis itu.
“ Hello
non...boleh ai duduk disini...?” tanya Surya
Sebelum
gadis itu menjawab Surya sudah medudukkan ‘pantatnya’ diatas kursi makan tepat
di depan Riana. Gadis itu tersenyum. Kemudian menunduk kembali
“Kenapa
Ri,...ada apa?” tanya Surya lagi
Riana
tidak segera menjawab. Dia membetulkan duduknya. Kemudian menarik nafas
panjang, dan menghirup teh manies hangat.
”Ri,
katanya kami mo nganggap aku kakak..ayyo dong cerita klo kamu ada masalah”
Riana
kembali menarik nafas panjang
”Sur,
selamet ya. Kamu memang layak jadi bintang”
”Loch...loch,
ditanye ape jawabnye ape....mang ade ape nooon?”
Riana
kembali terdiam, dia hanya menyobakkan utaian rambutnya yang turun menutupi
wajahnya. Kemudian suasana menjadi sunyi. Sesekali terdengar suara adukan teh
manies di gelas milik Riana.
”Sur,...!!”
serua Riana
”Yess...”
jawab Surya setengah bercanda
”Aku
serius neeh...!!”
”Ya
udah, .. kenapa..??”
”Kalo
Dian dan Rengganis itu dah jadian ya ma kamu..? enak ya, punya dua pacar sekaligus..”
“Eh, eh,
ade ape lagie neeh. Kok tahu-tahu ngomongin Dian n Rengganis..jadi curige
neeh…”
“Udeh
deh, jangan pake logat betawie yang dipaksain…” jawab Riana ketus
”hehehehe...kamu
aja ngikutin aye....pegimane...”jawab surya penuh canda
”...hahahahhahahaha...”
mereka tertawa bersama
”Sur, sejak
kamu masuk Kampus ini, mang harus diakui klo banyak perubahan. Kegiatan sosial
marak. OMB dah berubah. Kamu hebat Sur...”
Surya
masih terdiam. Ia mereka-reka arah pembicaraan Riana, Mahasiswi semester akhir,
dua tingkat diatas Surya
”..kamu
mang layak jadi bintang. Tadi aku perhatiin, waktu kamu kasih sambutan
pembukaan OMB, banyak siulan. Banyak juga mahasiswi yang curi-curi pandang...”
jelas Riana lagi
”Maksud
kamu...?” tanya Surya mulai serius
Riana
tak langsung menjawab. Dia kembali menarik nafas panjang.
”..Yaaa,
kamu memang menjadi incaran banyak cewek. Aku tahu. Kamu juga deket banget ma
Dian dan Rengganis.....banyak yang bilang kamu dah jadian ma mereka...”
”..Oooh
itu toh intinya...”
”Bukan
cuman itu. Kabarnya juga kamu mau membuat wadah khusus bagi mahasiswa baru agar
mereka gak ketinggalan mata kuliah kayak senior-seniornya...”
Surya
mengangguk-anggukan kepalanya, ”Mang salah ya....?”
”yaa...salah
seeh enggak, cuman....” Riana kembali menghela nafas
“Cuman,
itu semakin merenggangkan jarak kamu ma kita-kita…”
“Aduuuh,
Riana, kamu kok ampe sejauh itu seeh. Buktinya kita masih bisa makan
bareng…lagian, kita khan dah sepakat klo kita kudu bikin sesuatu supaya gak ada
lagi yang ketinggalan mata kuliah. Khan kamu juga ikut waktu rapat BEM minggu
lalu..”
Riana
terdiam. Surya juga
terdiam. Suasana sunyi sejenak.
“Sur....”
Riana memecah keheningan
“Papaku
minta aku nerusin kulian di Aussie. Katanya mumpung Papa lagie mampu dan belum
pensiun. Lagi pula, kakak sepupuku juga disana”
Surya
tersentak kaget. Aussie, negeri yang terletak ribuan km sebelah selatan Indonesia.
Wajahnya mulai terlihat memucat. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Entah
pikiran apa.
“Sur...?”
“eh..iyya...ada
apa...” jawab SUrya agak gugup
“Klo
kamu dah lupus nanti, kamu mo kemana…?”
Surya
tersenyum kecut...”Ri, aku masih dua tahun lagi. Masih lama....”
”Sur,
menurut kamu gimana...apa aku ngikutin omongin Papa ato gimana...?”
Surya
terdiam. Dalam hatinya dia merasakan sesuatu yang bergetar. Ada perasaan lain
ketika Riana mengungkapkan bahwa dia akan ke Aussie. Ada perasaan tidak rela.
Tidak sependapat dan ingin menghalangi. Namun niat itu diurungkannya, mengingat
dia belum tahu apa yang ada dihati gadis itu.
”Sur,...”
Riana, tidak meneruskan kata-katanya. Dia menyisir pandangan ke seluruh sudut
di rumah makan Bu Min.
”Sur,
harus kuakui kalau aku memendam rasa padamu...” sambung Riana dengan suara agak
berat dan parau, kemudian menunduk dan menghela nafas panjang
Surya
masih terdiam. Pergulatan dihatinya demikian hebat. Banyak kata, kalimat dan
ungkapan-ungkapan yang ingin dikeluarkannya. Namun tak kuasa
Selain
itu ia juga tersentak dan kaget menerima ’todongan’ dari Riana yang demikian
berani mengungapkan perasaannya.
”Aku
memang terlalu naif ngomong kayak gitu....” jelas Riana lagi
”Namun
karena semalam Papa nyuruh aku nerusin kuliah di Aussie, aku kepikiran kamu,
Sur...lagi pula, aku dah mo lulus. Tinggal Sidang Skripsi aja...” Riana
kemudian ’membuang’ wajahnya kebelakang, menutupi rasa malunya.
Kali ini
Surya yang menarik nafas panjang. Dia masih terpikir Santi, gadis di desanya. Namun
berita pernikahan Santi dengan seorang pria asal Bandung beberapa bulan lalu
menguburkan pikiran itu.
”Ri,
....” Surya kembali menarik nafas. Menunda kalimat lanjutannya
”...Ri,
aku...aku....eh..eng, aku juga ada rasa sama kamu. Tapi aku...tapi aku...”
Belum
sempat Surya meneruskan kalimatnya, Riana segera memeluknya. Melampiaskan
emosi. Dibiarkan air matanya mengalir membasahi pipinya. Matanya dipejamkan
erat, seolah memeras air matanya agar semakin banyak lagi yang keluar
”Terima
kasih Sur..terima kasih...”
”Aku
akan bicara ma Papa, kalau aku gak mau ke Aussie. Aku mau langsung kerja di
Jakarta aja...biar bisa tetep ketemu sama kamu Sur...”
---oooOooo---
Menemui Ibunda tercinta
Liburan
Semester ini dimanfaatkan Surya untuk pulang kekampungnya, di selatan Bandung. Kali
ini ia membawa Riana sebagai teman perjalanan yang akan diperkenalkannya kepada
orang tuanya.
”Sur,
bener neeh kamu siap ngenalin aku ma Ibu kamu....?”
”heheehe...kamu
yang harus siap-siap Ri....soalnya kamu akan menemukan Surya yang sebenarnya.
Anak kampung yang kebetulan dapat beasiswa kuliah di Jakarta...“
”hahahaha....aku
dah jenuh Sur, ngeliat suasana keangkuhan kota. Lagian kamu kan anak
kuliahan...hahahaha....kayak film si Doel gitu..hahahahah“
Mereka
tertawa riang dalam perjalanan pulang kampung dengan menggunakan mobil sedan
silver metalik pemberian Papa Riana
Semakin
dekat dengan desa tempat tinggal Surya, suasana sejuk dan hijau semakin tampak
dan terasa. Kaca mobil diturunkan agar nuansa alam dapat mereka rasakan.
Gemericik air mulai terdengar. Suara-suara burung juga tak mau ketinggalan.
Beberapa orang penduduk yang papasan dijalan menganggukkan kepala dengan ramah,
seolah sudah saling mengenal. Budaya desa yang masih alami.
nusantara-news.com
”Kita sudah hampir sampai Ri,..siap-siap ya bertemu
camer..hehehehe”
Riana
mencubit pelan pinggang Surya, membuat Surya sedikit melnggokkan
badannya...“hei..hei...jangan maen cubitan donk“
”haa..ahahahaha...“
”hehehehehehe”
Perjalanan
yang menyenangkan. Penuh tawa, penuh canda dan riang nyanyian.
Tiba
disebuah komplek pemukiman....
”Gedubrakkk......“
Riana
dan Surya terkejut. Seorang Ibu jatuh tersungkur di teras sebuah rumah mewah,
disertai bantingan pintu yang tak kalah kerasnya. Mereka menghentikan laju
mobilnya.
”Dasar
wanita murahan....Pergi dari sini....!!” bentak seorang pria setengah baya
”Sur,
bener neeh kamu siap ngenalin aku ma Ibu kamu....?”
”Maaf
Tuan...huk..huk...jangan usir saya...“ jawab Ibu tersebut sambil memegang kaki kanan pria setengah baya itu
”Pergi
kataku....pergiiii....“ bentak lelaki itu dengan mengentakkan kaki kanannya dan
menunjuk ke arah jalan
”Jangan
tuan...jangan...nanti anak saya dimana tuan,..huk..huk.. ”
”Apa kamu
bilang..? anak kamu....? itu urusan kamu, perempuan .....(cencored).. ”
”Tuan....maafin
saya Tuan, ,,,,saya siap melayani tuan.......“
”Sudah
sana, saya sudah mendapatkan yang lain .....“
“Tuan...huk..huk“
tangan wanita itu masih memegang erat kaki lelaki, yang menjadi pemilik rumah
mewah tsb
“Semalam
kamu berani menolak saya, setelah banyak uang saya keluar buat
anakmu...sekarang Pergiii...“ Lelaki itu menarik tangan wanita itu dan
mendorongnya keluar dari rumah
“Gubrakkkkk...
“ wanita itu kembali jatuh tersungkur
Riana
dan Surya memperhatikan dengan seksama. Wajah wanita itu penuh guratan berwarna
merah dan biru lebam seperti bekas benturan dan pukulan tangan. Wajahnya masih
terlihat cantik alami, meskipun usianya sudah diatas kepala empat. Kulitnya juga
masih tampak halus, khas wanita desa.
Sementara
lelaki pemilik rumah mewah itu masih berdiri tegak dan berkacak pinggang seolah
memperlihatkan kekuasaannya.
“Aku
sudah tidak butuh kamu lagi....“ teriak lelaki setengah tua itu
Wanita
tadi mengangkat sedikit wajahnya. terlihat aliran darah segar dari bibirnya.
Dorongan lelaki itu membuat ia tersungkur dan wajahnya membentur jalan. Darah
terus mengalir ke dagunya.
Beberapa
orang yang lalu lalang tidak ada yang berani melerai. Mereka menganggapnya
sebagai ’keributan’ keluarga.
Ketika
wanita korban KDRT itu menyibakkan rambutnya,.............
”Ibuuuuuuuuu...........Ibuuuuuuuuuuu”
terdengar teriakan keras melengking dari pinggir jalan
”Ibuuuuuuuuuuuuuu..................”
seorang anak muda berlari kearah wanita yang masih dalam kondisi lemah itu
”Ibu....huk,...huk....apa
yang terjadi Bu...?”
Anak muda
tadi lalu memangku kepala wanita itu. Mengusap lembut rambutnya. Mulutnya
sesegukan tak kuasa melihat kondisi Ibunya. Air matanya mengalir, ikut
merasakan sakit yang di derita Ibunya.
“Hai...siapa
kamu...?“ bentak si pemilik rumah mewah itu
Anak
muda itu tetap memangku kepala Ibunya yang masih lemah. Di usapnya darah segar
yang masih mengalir dari bibirnya.
”Ibuu....”
”Hai,
anak muda....siapa kamu, berani ikut campur urusanku...?” bentak sipemilik
rumah dengan suara yang lebih keras
Anak
muda itu bangkit perlahan setelah menurunkan kepala Ibunya. Anak muda itu
menggeleng. Dia sangat geram, tangannya terkepal. Deretan girinya terlihat
menyeringai saling beradu....perlahan namun pasti dia mendekati lelaki paru
baya itu
”Bapak
tua...wanita ini adalah Ibuku...setiap orang yang menyakitinya akan berusuan
dengaku.....” jawab anak muda tadi
Tersentak
dan terkejut. Lelaki tua itu melangkah mundur. Namun langkahnya terhenti ketika kakinya menyentuh
pintu rumah.
”Mau
kabur kemana kau Pak Tua.....?” anak muda itu terus memburunya
Ditengah
kebingungan dan ketakutan, lelaki tua pemilik rumah itu berujar
”..Oh
kamu Surya, anak wanita tua murahan itu,,,,,,anak gak tahu diri. Kuliah kamu
dan hidup kamu aku yang tanggung selama ini...anak gak tahu terima kasih..”
Surya
berhenti melangkah demi mendengar penuturannya.
”..hahaha...kamu
terkejut kalau uang yang selama ini dikirimkan oleh Ibumu adalah
uangku.....kamu tidak tahu kalau hidup keluargamu aku yang menanggung” teriak
lelali itu lantang.
Surya
bergeming. Diam seribu bahasa. Tak tahu apa yang harus diperbuat.
“Surya,
asal kamu tahu, wanita murahan itu mencuri uangku...dia selalu meminta imbalan
uang untuk dikirimkan ke Jakarta, setiap aku ‘menidurinya’......chuiiih” jelas
lelaki itu sambil menyemburkan ludah kearahnya.
Surya
menarik nafas panjang. Tangannya kembali terkepal. Kepalanya pening. Hatinya
bergejolak.....dia ’meniduri’ Ibunya...dia memberi Ibunya imbalan uang untuk
dikirim kepadanya...jadi..jadi.....Ibunya.....jadi selama ini uang yang
dipakainya untuk biaya hidup di Jakarta berasal dari......
”Bukkk.....”
Terdengar
suara pukulan yang keras. Orang – orang terperangah. Tangan kanan Surya beradu
dengan telapak tangan kirinya. Menahan marah yang sangat. Beberapa orang yang
sejak tadi ikut berkerumun menyaksikan adegan itu berusaha melerai....memegangi
tangan Surya yang sudah bergetar sekujur tubuhnya menahan amarah. Giginya
gemeretak beradu atas dan bawah. Tangannya terus terkepal. Meronta berusaha
melepaskan diri dari pegangan orangan-orang.
”Pak
Tua, tidak ada satupun orang yang punya hak untuk menyakiti orang lain.
Meskipun engkau telah banyak memberikan uang kepada Ibuku, namun kelakuanmu
lebih buruk dari makhluk berkaki empat......” seru Surya
”Dasar
anak sialan...”teriak lelaki tua itu, dengan kedua tangannya berjaga-jaga
menutupi wajahnya.
”Perkataanmu
sejak tadi menunjukkan bahwa engkau bukanlah makhluk beradab. Hanya syaithon
yang selalu berkata dengan kemarahan dan keangkuhan....” seru Surya lagi.
”Bahkan
engkau jauh lebih rendah dari seekor bintang ternak. Memeras ’hati’ orang lain,
memanfaatkan orang lain untuk memuaskan nafsu bejatmu, dan membuangnya ketika
kau merasa dia tak berguna lagi.....lalu kau mencari mangsa baru...apa bedanya
kau dengan ’belis’ laknatullah....” seru Surya dengan mulut mencibir
Orang
tua tadi tediam. Terperangah. Tak menyangka Surya, anak dari Bu Indah yang baru
saja ia aniaya bisa berkata seperti itu. Tatanan kata dan susunan kalimat yang
hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki pengetahuan dan adab yang tinggi. Berfikir
demikian, pemilik rumah itu semakin takut dan berusaha menyembunyikan wajahnya
dari tatapan banyak orang. Apalagi Riana sejak awal merekam semua kejadian
dengan kamera miliknya.
Surya
berdiri tegak, seolah menandakan sebuah kemenangan besar. Orang-orang yang
sejak tadi mengelilingi juga sudah melepaskan pegangan tangannya. Mereka
membenarkan apa yang telah diucapkan oleh Surya. Mereka juga menyadari betapa
selama ini begitu takut terhadap orang tua itu, hanya karena banyak dari mereka
yang ’mengais’ rejeki darinya...meski dengan pengorbanan anak dan atau
isterinya.
”Pak
Tua, aku tidak akan membiarkan kelakuan bejatmu mengotori kampungku. Aku yakin
kaupun telah ’terusir’ dari kampungmu. Aku juga yakin masyarakan tidak akan
menerimamu lagi.....” tambah Surya
”Betulll...betuuullllll.......”
teriak yang lain serempak
”Pak
Tua....derita Ibuku harus kau balas dengan hukuman..........” Surya tak mampu
meneruskan kata-katany....ketika terdengar suara....”...eeehhhhhhh....”
”Suryaaa........”
lirih suara itu pelan
”Suuurrrr....”
suara itu kembali terdengar....
Surya
membalikkan badannya. Segera ia berlari cepat ketika melihat Ibunya memanggil
dengan suara parau. Tangan kanannya melambai lemah. Rambutnya tergerai menutupi
sebagian besar wajahnya. Sementara tangan kirinya berusaha menopang tubuhnya
yang terlihat sangat lemah. Kakinya terselonjor yang memperlihatkan sebagian
bekas luka penganiayaan.
”Suuurrrrrr......”
Surya
memapah tubuh Ibunya dalam pangkuan. Orang-orang mulai mengerubungi. Mereka
iba. Empati. Berusaha untuk mengerti perasan dan bathin yang dialami Surya dan
Ibunya. Penyesalan, mengapa selama ini membiarkan anak dan isteri mereka larut
dalam kemaksiatan si Bapak tua itu. Beberapa diantara mereka memalingkan wajah
tak kuasa melihat luka dan penderitaan Bu Indah. Hati mereka seolah ikut
merasakan pahit dan getir. Suasana hening. Masing-masing larut dalam
pikiriannya.
(keadaan
tsb dimanfaatkan oleh Pak tua pemilik rumah untuk segera masuk dan mengunci
pintu rapat-rapat)
”Surya....maafin....maafin
Ibu nak.....” suara Bu Indah terputus-putus dan nyaris tak terdengar
”..huk....huk...”
Surya mendekap semakin erat tubuh Ibunya. Membersihkan darah yang masih
mengalir dari bibir Ibunya
”Surya...maafin
Ibu nak...” Bu Indah kembali mengulang perkataan itu
”...huk..huk..Ibu...Bu....”
”Surya....Ibu
terpaksa melakukan ini....” suara Bu Indah semakin lirih
”....huk...huk...Ibuuuu....”
”Ibu
terpaksa....terpaksa....menjual harga diri....”
”Ibu....Ibu...terpa....terpaksa....demi
...kuliah..kuliah kamu Nak...” suara Bu Indah semakin tak terdengar jelas
”Ibu
sayang.....ka..kamu Sur....Ibu menjual…..harga….harga diri…demi ….kualiah
kamu… ”
”Ibu....Ibu.....”
Bu Indah tak mampu meneruskan kata-katanya. Mulutnya mengeluarkan darah segar.
Kemudian tak sadarkan diri.
”Ibuuuu.....Ibuuuu.....”
Orang-orang
segera membantu mengangkat tubuh Bu Indah.....
”Masukan
ke mobil saya saja Pak....” seru Riana kepada orang-orang itu.
”Huk...huk....Ibuuuu....”
Surya masih duduk bersimpuh di jalan
Riana
dan salah seorang warga membantu Surya berdiri dan memapah.
”..Huk....huk...Ibuuuu....”
”Sur,...sudahlah....tenangkan
hatimu....”
”Dia Ibu
yang hebat..sayang terhadap anaknya....mau melakukan apapun untuk kebahagiaan
anak....”
”.....”
”Kasih
Ibu....kepada beta..tak terhingga sepanjang masa.....”
Bu Indah
dibaringkan di kursi mobil bagian belakang. Tubuhnya lemah dan tak sadarkan
diri. Surya termenung disamping ibunya. Berlutut dan mengusap kepala Ibunya.
Sementara orang-orang mulai mendatangi pemilik rumah mewah itu.
Riana
segeral melarikan mobilnya. Melaju diantara jalan desa yang tak terlalu mulus.
Membiarkan Surya yang khusyu’ menemani Ibunda tercintanya. Bu Indah yang selalu
berkorban untuknya. Meski dengan menggadaikan harga diri dan kehormatan. Tanda bukti cinta dan kasih sayang kepada anaknya
Air mata
Surya tak henti mengalir, sebagian diantaranya jatuh di wajah Ibunya. Tangan
kanannya mengusap lembut rambut Ibunya yang terurai. Tangan kirinya memegang
dan menopang tubuh Ibunya agar tak terjatuh. Surya menyesali waktu yang telah
berlalu. Seandainya ia tak pergi ke Jakarta, mungkin kejadian seperti ini tak
akan terjadi. Yaa, seandainya ia tetap di desa menemani Ibunya, niscaya ia
tidak akan menyaksikan penganiayaan yang dialami Ibunya...yyaa,
seandainya...seandainya ia tidak menuruti kata Ibunya untuk mengambil beasiswa
kuliah ke Jakarta, ia tentu akan tetap bahagia bersama Ibunya.
”Ibu..mengapa
Ibu berbohong ama Surya, Bu....”
”Mengapa
Ibu melakukan ini....mengorbankan diri demi Surya....”
Setetes
air mata Surya jatuh tepat di pelupuk mata Bu Indah. Mata itu bergerak dan sedikit
terbuka
(sumber : google - http://kfk.kompas.com/)
”Surya....”
”Ibuuu...”
Surya segera memeluk Ibunya
”Ibu ada
dimana Sur....kepala Ibu sakiiiitt...”
”Kita
sedang ke rumah sakit Bu....” air mata surya kembali menertes membasahi
pipinya.
Diusap
lembut wajah Ibunya. Dirasakan banyak kerutan di pipinya. Tanda penuaan yang
tidak pernah dirasakannya....
Dari
kaca spion tengah, Riana melihat untuk kali pertama seorang Surya, Ketua BEM di
kampusnya duduk bersimpuh, berurai air mata. Tanpa sadar Riana terbawa emosi
jiwa. Kelopak matanya ikut basah. Hatinya tersentuh. Jiwanya ikut merasakan apa
yang dialami Ibu dan anak itu.
Mobil
yang dikendarai Riana masuk ke halaman RSUD, menuju ruang Unit Gawat Darurat.
Beberapa orang perawat datang membawa tempat tidur dorong dan mengangkat tubuh
lemah Bu Indah.
Surya
dan Riana ikut mengantar Bu Indah menuju ruang perawatan. Batin meraka masih diliptu rasa duka, sedih
dan ...............................
Lamat-lamat
dari kejauhan terdengar suara dua orang anak kecil bernyanyi dengan suara parau
dan agak cadel.....
”..Kasih
Ibu...kepada beta....”
”..tak
terhingga...sepanjang masaaaa...Hanya memberi tak harap kembali......”
Suara
itu kemudian lenyap tertelan desingan suara pon yang tertiup angin. Kemudian
lamat-lamat terdengar kembali…
”Kasih
Ibu kepada beta...tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali
bagai sang surya menyinari dunia”
Salam ukhuwah
elha – KLINIK CINTA
0 Komentar untuk "IBUKU BUKAN PELACUR"